Angklung adalah alat
musik multitonal
(bernada ganda) yang secara tradisional berkembang dalam masyarakat Sunda di Pulau
Jawa bagian barat.
Alat musik ini dibuat dari bambu, dibunyikan
dengan cara digoyangkan (bunyi disebabkan oleh benturan badan pipa bambu)
sehingga menghasilkan bunyi yang bergetar dalam susunan nada 2, 3, sampai 4
nada dalam setiap ukuran, baik besar maupun kecil. Dictionary of the Sunda
Language karya Jonathan Rigg, yang diterbitkan pada tahun 1862 di Batavia,
menuliskan bahwa angklung adalah alat musik yang terbuat dari pipa-pipa bambu,
yang dipotong ujung-ujungnya, menyerupai pipa-pipa dalam suatu organ, dan
diikat bersama dalam suatu bingkai, digetarkan untuk menghasilkan bunyi.
Angklung terdaftar sebagai Karya Agung Warisan Budaya
Lisan dan Nonbendawi Manusia dari UNESCO sejak November
2010.
Asal-usul
Anak-anak Jawa
Barat bermain angklung di awal abad ke-20.
Tidak ada
petunjuk sejak kapan angklung digunakan, tetapi diduga bentuk primitifnya telah
digunakan dalam kultur Neolitikum yang berkembang di Nusantara sampai awal
penanggalan modern, sehingga angklung merupakan bagian dari relik pra-Hinduisme
dalam kebudayaan Nusantara.
Catatan
mengenai angklung baru muncul merujuk pada masa Kerajaan
Sunda (abad ke-12
sampai abad ke-16). Asal usul terciptanya musik bambu, seperti angklung
berdasarkan pandangan hidup masyarakat Sunda yang agraris dengan sumber
kehidupan dari padi (pare) sebagai makanan pokoknya. Hal ini melahirkan mitos
kepercayaan terhadap Nyai Sri Pohaci sebagai lambang Dewi Padi pemberi
kehidupan (hirup-hurip). Masyarakat Baduy, yang dianggap
sebagai sisa-sisa masyarakat Sunda asli, menerapkan angklung sebagai bagian
dari ritual mengawali penanaman padi. Permainan
angklung gubrag di Jasinga, Bogor, adalah salah
satu yang masih hidup sejak lebih dari 400 tahun lampau. Kemunculannya berawal
dari ritus padi. Angklung diciptakan dan dimainkan untuk memikat Dewi Sri turun ke bumi
agar tanaman padi rakyat tumbuh subur.
Jenis bambu
yang biasa digunakan sebagai alat musik tersebut adalah bambu hitam (awi
wulung) dan bambu putih (awi temen). Tiap nada (laras) dihasilkan
dari bunyi tabung bambunya yang berbentuk bilah (wilahan) setiap ruas bambu
dari ukuran kecil hingga besar.
Dikenal oleh masyarakat
sunda sejak masa kerajaan
Sunda, di antaranya
sebagai penggugah semangat dalam pertempuran. Fungsi angklung sebagai pemompa
semangat rakyat masih terus terasa sampai pada masa penjajahan, itu sebabnya
pemerintah Hindia
Belanda sempat
melarang masyarakat menggunakan angklung, pelarangan itu sempat membuat
popularitas angklung menurun dan hanya dimainkan oleh anak- anak pada waktu
itu.
Selanjutnya
lagu-lagu persembahan terhadap Dewi Sri tersebut
disertai dengan pengiring bunyi tabuh yang terbuat dari batang-batang bambu
yang dikemas sederhana yang kemudian lahirlah struktur alat musik bambu yang
kita kenal sekarang bernama angklung. Demikian pula pada saat pesta panen dan
seren taun dipersembahkan permainan angklung. Terutama pada penyajian Angklung
yang berkaitan dengan upacara padi, kesenian ini menjadi sebuah pertunjukan
yang sifatnya arak-arakan atau helaran, bahkan di sebagian tempat menjadi iring-iringan
Rengkong dan Dongdang serta Jampana (usungan pangan) dan sebagainya.
Dalam
perkembangannya, angklung berkembang dan menyebar ke seantero Jawa, lalu ke
Kalimantan dan Sumatera. Pada 1908 tercatat
sebuah misi kebudayaan dari Indonesia ke Thailand, antara lain
ditandai penyerahan angklung, lalu permainan musik bambu ini pun sempat
menyebar di sana.
Bahkan, sejak 1966, Udjo
Ngalagena —tokoh
angklung yang mengembangkan teknik permainan berdasarkan laras-laras pelog,
salendro, dan madenda— mulai mengajarkan bagaimana bermain angklung kepada
banyak orang dari berbagai komunitas.
Jenis Angklung
Angklung Kanekes
Angklung di
daerah Kanekes (kita sering menyebut mereka orang
Baduy) digunakan
terutama karena hubungannya dengan ritus padi, bukan semata-mata untuk hiburan
orang-orang. Angklung digunakan atau dibunyikan ketika mereka menanam padi di
huma (ladang). Menabuh angklung ketika menanam padi ada yang hanya dibunyikan
bebas (dikurulungkeun), terutama di Kajeroan (Tangtu; Baduy Jero), dan ada yang
dengan ritmis tertentu, yaitu di Kaluaran (Baduy Luar). Meski demikian, masih
bisa ditampilkan di luar ritus padi tetapi tetap mempunyai aturan, misalnya
hanya boleh ditabuh hingga masa ngubaran pare (mengobati padi), sekitar tiga
bulan dari sejak ditanamnya padi. Setelah itu, selama enam bulan berikutnya
semua kesenian tidak boleh dimainkan, dan boleh dimainkan lagi pada musim
menanam padi berikutnya. Menutup angklung dilaksanakan dengan acara yang
disebut musungkeun angklung, yaitu nitipkeun (menitipkan, menyimpan) angklung
setelah dipakai.
Dalam sajian
hiburan, Angklung biasanya diadakan saat terang bulan dan tidak hujan. Mereka
memainkan angklung di buruan (halaman luas di pedesaan) sambil
menyanyikan bermacam-macam lagu, antara lain: Lutung Kasarung, Yandu
Bibi, Yandu Sala, Ceuk Arileu, Oray-orayan, Dengdang,
Yari Gandang, Oyong-oyong Bangkong, Badan Kula, Kokoloyoran,
Ayun-ayunan, Pileuleuyan, Gandrung Manggu, Rujak Gadung,
Mulung Muncang, Giler, Ngaranggeong, Aceukna, Marengo, Salak Sadapur, Rangda
Ngendong, Celementre, Keupat Reundang, Papacangan, dan
Culadi Dengdang. Para penabuh angklung sebanyak delapan orang dan tiga
penabuh bedug ukuran kecil membuat posisi berdiri sambil berjalan dalam formasi
lingkaran. Sementara itu yang lainnya ada yang ngalage (menari) dengan gerakan
tertentu yang telah baku tetapi sederhana. Semuanya dilakukan hanya oleh
laki-laki. Hal ini berbeda dengan masyarakat Daduy Dalam, mereka dibatasi oleh
adat dengan berbagai aturan pamali (pantangan; tabu), tidak boleh melakukan
hal-hal kesenangan duniawi yang berlebihan. Kesenian semata-mata dilakukan
untuk keperluan ritual.
Nama-nama
angklung di Kanekes dari yang terbesar adalah: indung, ringkung, dongdong,
gunjing, engklok, indung leutik, torolok, dan roel. Roel yang terdiri dari 2
buah angklung dipegang oleh seorang. Nama-nama bedug dari yang terpanjang
adalah: bedug, talingtit, dan ketuk. Penggunaan instrumen bedug terdapat
perbedaan, yaitu di kampung-kampung Kaluaran mereka memakai bedug sebanyak 3
buah. Di Kajeroan; kampung Cikeusik, hanya menggunakan bedug dan talingtit,
tanpa ketuk. Di Kajeroan, kampung Cibeo, hanya menggunakan bedug, tanpa
talingtit dan ketuk.
Di Kanekes yang
berhak membuat angklung adalah orang Kajeroan (Tangtu; Baduy Jero). Kajeroan
terdiri dari 3 kampung, yaitu Cibeo, Cikartawana, dan Cikeusik. Di ketiga
kampung ini tidak semua orang bisa membuatnya, hanya yang punya keturunan dan
berhak saja yang mengerjakannya di samping adanya syarat-syarat ritual. Pembuat
angklung di Cikeusik yang terkenal adalah Ayah Amir (59), dan di Cikartawana
Ayah Tarnah. Orang Kaluaran membeli dari orang Kajeroan di tiga kampung
tersebut.
Angklung Reyog
Angklung Reyog
merupakan alat musik untuk mengiringi tarian reyog ponorogo di jawa timur.
angklung Reyog memiliki khas dari segi suara yang sangat keras, memiliki dua
nada serta bentuk yang lengkungan rotan yang menarik (tidak seperti angklung
umumnya ang berbentuk kubus) dengan hiasan benang berumbai-rumbai warna yang
indah. di kisahkan angklung merupakan sebuah senjata dari kerajaan bantarangin
ketika melawan kerajaan lodaya pada abad ke 9, ketika kemenangan oleh kerajaan
bantarangin para prajurit gembira tak terkecuali pemegang angklung, karena
kekuatan yang luar biasa penguat dari tali tersebut lenggang hingga
menghasilkan suara yang khas yaitu klong- klok dan klung-kluk bila didengar akan
merasakan getaran spiritual.
Dalam
sejarahnya angklung Reyog ini digunakan pada film: Warok Singo Kobra (1982),
Tendangan Dari Langit (2011)
Dan penggunaan
angklung Reyog pada musik seperti: tahu opo tempe, sumpah palapa, kuto reog,
Resik Endah Omber Girang, dan campursari berbau ponorogoan.
Angklung Banyuwangi
Angklung
banyuwangi ini memiliki bentuk seperi calung dengan nada budaya banyuwangi
Angklung Bali
angklung bali
memiliki bentuk dan nada yang khas bali,
Angklung Dogdog Lojor
Kesenian dogdog
lojor terdapat di masyarakat Kasepuhan Pancer Pangawinan atau kesatuan
adat Banten Kidul yang tersebar di sekitar Gunung
Halimun (berbatasan
dengan jakarta, Bogor, dan Lebak). Meski
kesenian ini dinamakan dogdog lojor, yaitu nama salah satu instrumen di
dalamnya, tetapi di sana juga digunakan angklung karena kaitannya dengan acara
ritual padi. Setahun sekali, setelah panen seluruh masyarakat mengadakan acara
Serah Taun atau Seren Taun di pusat kampung adat. Pusat kampung adat sebagai
tempat kediaman kokolot (sesepuh) tempatnya selalu berpindah-pindah sesuai
petunjuk gaib.
Tradisi
penghormatan padi pada masyarakat ini masih dilaksanakan karena mereka termasuk
masyarakat yang masih memegang teguh adat lama. Secara tradisi mereka mengaku
sebagai keturunan para pejabat dan prajurit keraton Pajajaran dalam baresan
Pangawinan (prajurit bertombak). Masyarakat Kasepuhan ini telah menganut agama
Islam dan agak terbuka akan pengaruh modernisasi, serta hal-hal hiburan
kesenangan duniawi bisa dinikmatinya. Sikap ini berpengaruh pula dalam dalam
hal fungsi kesenian yang sejak sekitar tahun 1970-an, dogdog lojor telah
mengalami perkembangan, yaitu digunakan untuk memeriahkan khitanan anak,
perkawinan, dan acara kemeriahan lainnya. Instrumen yang digunakan dalam
kesenian dogdog lojor adalah 2 buah dogdog lojor dan 4 buah angklung besar.
Keempat buah angklung ini mempunyai nama, yang terbesar dinamakan gonggong,
kemudian panembal, kingking, dan inclok. Tiap instrumen dimainkan oleh seorang,
sehingga semuanya berjumlah enam orang.
Lagu-lagu
dogdog lojor di antaranya Bale Agung, Samping Hideung, Oleng-oleng
Papanganten, Si Tunggul Kawung, Adulilang, dan Adu-aduan.
Lagu-lagu ini berupa vokal dengan ritmis dogdog dan angklung cenderung tetap.
Angklung Gubrag
Angklung gubrag
terdapat di kampung Cipining, kecamatan Cigudeg, Bogor. Angklung ini telah
berusia tua dan digunakan untuk menghormati dewi padi dalam kegiatan melak pare
(menanam padi), ngunjal pare (mengangkut padi), dan ngadiukeun (menempatkan) ke
leuit (lumbung).
Dalam mitosnya
angklung gubrag mulai ada ketika suatu masa kampung Cipining mengalami musim
paceklik.
Angklung Badeng
Badeng
merupakan jenis kesenian yang menekankan segi musikal dengan angklung sebagai
alat musiknya yang utama. Badeng terdapat di Desa Sanding, Kecamatan
Malangbong, Garut. Dulu
berfungsi sebagai hiburan untuk kepentingan dakwah Islam. Tetapi diduga
badeng telah digunakan masyarakat sejak lama dari masa sebelum Islam untuk
acara-acara yang berhubungan dengan ritual penanaman padi. Sebagai seni untuk
dakwah badeng dipercaya berkembang sejak Islam menyebar di daerah ini sekitar
abad ke-16 atau 17. Pada masa itu penduduk Sanding, Arpaen dan Nursaen, belajar
agama Islam ke kerajaan
Demak. Setelah
pulang dari Demak mereka berdakwah menyebarkan agama Islam. Salah satu sarana
penyebaran Islam yang digunakannya adalah dengan kesenian badeng.
Angklung yang
digunakan sebanyak sembilan buah, yaitu 2 angklung roel, 1 angklung kecer, 4
angklung indung dan angklung bapa, 2 angklung anak; 2 buah dogdog, 2 buah
terbang atau gembyung, serta 1 kecrek. Teksnya menggunakan bahasa
Sunda yang bercampur
dengan bahasa
Arab. Dalam
perkembangannya sekarang digunakan pula bahasa
Indonesia. Isi teks
memuat nilai-nilai Islami dan nasihat-nasihat baik, serta menurut keperluan
acara. Dalam pertunjukannya selain menyajikan lagu-lagu, disajikan pula atraksi
kesaktian, seperti mengiris tubuh dengan senjata tajam.
Lagu-lagu
badeng: Lailahaileloh, Ya’ti, Kasreng, Yautike, Lilimbungan,
Solaloh.
Buncis
Buncis
merupakan seni pertunjukan yang bersifat hiburan, di antaranya terdapat di
Baros (Arjasari, Bandung). Pada mulanya
buncis digunakan pada acara-acara pertanian yang berhubungan dengan padi.
Tetapi pada masa sekarang buncis digunakan sebagai seni hiburan. Hal ini
berhubungan dengan semakin berubahnya pandangan masyarakat yang mulai kurang
mengindahkan hal-hal berbau kepercayaan lama. Tahun 1940-an dapat dianggap
sebagai berakhirnya fungsi ritual buncis dalam penghormatan padi, karena sejak
itu buncis berubah menjadi pertunjukan hiburan. Sejalan dengan itu
tempat-tempat penyimpanan padi pun (leuit; lumbung) mulai menghilang dari
rumah-rumah penduduk, diganti dengan tempat-tempat karung yang lebih praktis,
dan mudah dibawa ke mana-mana. Padi pun sekarang banyak yang langsung dijual,
tidak disimpan di lumbung. Dengan demikian kesenian buncis yang tadinya
digunakan untuk acara-acara ngunjal (membawa padi) tidak diperlukan lagi.
Nama kesenian
buncis berkaitan dengan sebuah teks lagu yang terkenal di kalangan rakyat,
yaitu cis kacang buncis nyengcle..., dst. Teks tersebut terdapat dalam
kesenian buncis, sehingga kesenian ini dinamakan buncis.
Instrumen yang
digunakan dalam kesenian buncis adalah 2 angklung indung, 2 angklung ambrug,
angklung panempas, 2 angklung pancer, 1 angklung enclok. Kemudian 3 buah
dogdog, terdiri dari 1 talingtit, panembal, dan badublag. Dalam perkembangannya
kemudian ditambah dengan tarompet, kecrek, dan goong. Angklung buncis berlaras
salendro dengan lagu vokal bisa berlaras madenda atau degung. Lagu-lagu buncis
di antaranya: Badud, Buncis, Renggong, Senggot, Jalantir, Jangjalik, Ela-ela,
Mega Beureum. Sekarang lagu-lagu buncis telah menggunakan pula lagu-lagu dari
gamelan, dengan penyanyi yang tadinya laki-laki pemain angklung, kini oleh
wanita khusus untuk menyanyi.
Dari beberapa
jenis musik bambu di Jawa Barat (Angklung) di atas, adalah beberapa contoh saja
tentang seni pertunjukan angklung, yang terdiri atas: Angklung Buncis (Priangan/Bandung),
Angklung Badud (Priangan Timur/Ciamis), Angklung
Bungko (Indramayu), Angklung
Gubrag (Bogor), Angklung Ciusul (Banten), Angklung Dog
dog Lojor (Sukabumi), Angklung Badeng (Malangbong,
Garut), dan Angklung
Padaeng yang identik dengan Angklung Nasional dengan tangga nada diatonis, yang
dikembangkan sejak tahun 1938. Angklung khas
Indonesia ini berasal dari pengembangan angklung Sunda. Angklung Sunda yang
bernada lima (salendro atau pelog) oleh Daeng Sutigna alias Si Etjle (1908—1984) diubah
nadanya menjadi tangga
nada Barat
(solmisasi) sehingga dapat memainkan berbagai lagu lainnya. Hasil
pengembangannya kemudian diajarkan ke siswa-siswa sekolah dan dimainkan secara
orkestra besar.
Angklung Padaeng
Angklung
padaeng adalah angklung yang dikenalkan oleh Daeng
Soetigna sejak sekitar
tahun 1938. Terobosan pada angklung padaeng adalah digunakannya laras nada Diatonik yang sesuai
dengan sistem musik barat. Dengan demikian, angklung kini dapat memainkan
lagu-lagu internasional, dan juga dapat bermain dalam Ensembel dengan alat
musik internasional lainnya.
Angklung Sarinande
Angklung
sarinande adalah istilah untuk angklung padaeng yang hanya memakai nada bulat
saja (tanpa nada kromatis) dengan nada dasar C. Unit kecil angklung sarinade
berisi 8 angklung (nada Do Rendah sampai Do Tinggi), sementara sarinade plus
berisi 13 angklung (nada Sol Rendah hingga Mi Tinggi).
Angklung Toel
Angklung toel
diciptakan oleh Kang Yayan Udjo sekitar tahun 2008. Pada alat ini,
ada rangka setinggi pinggang dengan beberapa angklung dijejer dengan posisi
terbalik dan diberi karet. Untuk memainkannya, seorang pemain cukup men-toel
angklung tersebut, dan angklung akan bergetar beberapa saat karena adanya
karet.
Angklung Sri-Murni
Angklung ini
merupakan gagasan Eko Mursito Budi yang khusus diciptakan untuk keperluan robot
angklung. Sesuai
namanya, satu angklung ini memakai dua atau lebih tabung suara yang nadanya
sama, sehingga akan menghasilkan nada murni (mono-tonal). Ini berbeda dengan
angklung padaeng yang multi-tonal. Dengan ide sederhana ini, robot dengan mudah
memainkan kombinasi beberapa angklung secara simultan untuk menirukan efek angklung
melodi maupun angklung akompanimen.
Ensemble angklung
Agar lebih kaya
suaranya, angklung sebaiknya dimainkan dengan alat musik lain membentuk
ensembel. Beberapa ensembel angklung yang sudah mapan adalah:
Klasik Padaeng
Ensemble
angklung klasik yang dikenalkan oleh Pak Daeng Soetigna terdiri atas:
- Angklung
melodi
- Angklung
akompanimen
- Bas betot
Kombinasi
minimal inilah yang paling populer dan umum dijumpai saat konser maupun lomba
paduan angklung.
Angklung solo
Angklung solo
adalah konfigurasi dimana satu unit angklung melodi digantung pada suatu palang
sehingga bisa dimainkan satu orang saja. Sesuai dengan konvensi nada diatonis,
maka ada dua jajaran gantungan angklung, yang bawah berisi nada penuh,
sedangkan yang atas berisi nada kromatis. Angklung Solo ini digagas oleh Yoes
Roesadi tahun 1964, dan dimainkan bersama alat musik basanova dalam group yang
menamakan diri Aruba (Alunan Rumpun Bambu). Sekitar tahun 1969, nama Aruba ini
disesuaikan menjadi Arumba.
Arumba
Arumba adalah
istilah bagi seperangkat alat musik (ensemble) yang minimal terdiri atas:
- Satu unit
angklung melodi, digantung sehingga bisa dimainkan oleh satu orang
- Satu unit
bass lodong, juga dijejer agar bisa dimainkan satu orang
- Gambang
bambu melodi
- Gambang
bambu akompanimen
- Gendang
Konfigurasi
awal ensemble tersebut diperkenalkan oleh Mochamad Burhan sekitar tahun 1966,
yang menggunakannya bersama grup "Arumba Cirebon"
Teknik permainan angklung
Memainkan
sebuah angklung sangat mudah. Seseorang tinggal memegang rangkanya pada salah
satu tangan (biasanya tangan kiri) sehingga angklung tergantung bebas,
sementara tangan lainnya (biasanya tangan kanan) menggoyangnya hingga berbunyi.
Dalam hal ini, ada tiga teknik dasar menggoyang angklung:
- Kurulung (getar),
merupakan teknik paling umum dipakai, dimana tangan kanan memegang tabung
dasar dan menggetarkan ke kiri-kanan berkali-kali selama nada ingin
dimainkan.
- Centok (sentak),
adalah teknik dimana tabung dasar ditarik dengan cepat oleh jari ke
telapak tangan kanan, sehingga angklung akan berbunyi sekali saja
(stacato).
- Tengkep, mirip
seperti kurulung namun salah satu tabung ditahan tidak ikut bergetar. Pada
angklung melodi, teknik ini menyebabkan angklung mengeluarka nada murni
(satu nada melodi saja, tidak dua seperti biasanya). Sementara itu pada
angklung akompanimen mayor, teknik ini digunakan untuk memainkan akord
mayor (3 nada), sebab bila tidak ditengkep yang termainkan adalah akord
dominan septim (4 nada).
Sementara itu
untuk memainkan satu unit angklung guna membawakan suatu lagu, akan diperlukan
banyak pemusik yang dipimpin oleh seorang konduktor. Pada setiap pemusik akan
dibagikan satu hingga empat angklung dengan nada berbeda-beda. Kemudian sang
konduktor akan menyiapkan partitur lagu, dengan tulisan untaian nada-nada yang
harus dimainkan. Konduktor akan memberi aba-aba, dan masing-masing pemusik
harus memainkan angklungnya dengan tepat sesuai nada dan lama ketukan yang
diminta konduktor. Dalam memainkan lagu ini para pemain juga harus
memperhatikan teknik sinambung, yaitu nada yang sedang berbunyi hanya
boleh dihentikan segera setelah nada berikutnya mulai berbunyi.
Berlatih Angklung
Angklung akan
terdengar merdu dan megah jika dimainkan beramai-ramai dengan kompak. Untuk
itu, diperlukan persiapan dan latihan yang cukup panjang, dipimpin pelatih yang
cukup punya pemahaman musik umum maupun angklung. Tahap-tahap persiapannya
adalah:
- Pilih lagu
dengan aransemennya. Lagu yang cocok dimainkan dengan angklung umumnya
yang berirama riang, dan jika bisa ada bagian yang rancak, sehingga bisa
diimprovisasi dengan teknik centok. Lagu ini kemudian perlu diaransemen
khusus untuk angklung, dengan memiliki beberapa suara. Untuk latihan,
aransemen ini kemudian ditulis di kertas yang besar (biasanya dalam notasi
not angka).
- Siapkan
unit angklung sesuai aransemen. Dari aransemen angklung, bisa diketahui
berapa angklung yang diperlukan berdasar rentang nada lagu dan
keseimbangan intonasinya.
- Kumpulkan
pemain dan distribusikan angklung kepada mereka. Jika ada pemain yang
memegang banyak angklung, harus diperhatikan agar si pemain tersebut tidak
akan pernah memainkan dua angklung pada saat bersamaan. Untuk itu biasanya
dipakai tabel tonjur.
- Pemanasan.
Sebelum berlatih, sebaiknya lemaskan dulu kaki dan tangan, lalu lakukan
gerakan-gerakan dasar untuk kurulung maupun centok bersama-sama.
- Mempelajari
lagu. Bersama-sama, pelajari dan telusuri alur lagu, mana bait-bait dan
chorus yang harus diulang. Perlahan-lahan mainkan lagu ini dibawah
pimpinan konduktor. Disarankan agar selama latihan awal semua nada
di-centok saja, jangan dikurulung dulu.
- Menghafal
not. Perlahan-lahan para pemain diminta menghafal not-not lagu dan bagian
permainannya.
- Meningkatkan
teknik. Ini tahap polesan akhir, dimana konduktor bisa mulai memimpin
dengan menekankan keserempakan permainan, dinamika, maupun penjiwaan.
- Koreografi.
Jika akan tampil dipentas, bisa mulai dipikirkan improvisasi agar para
pemain melakukan gerakan yang menarik, tidak berdiri kaku terus menerus.
Angklung interaktif
Angklung
interaktif adalah kegiatan dimana seorang konduktor mengajak banyak orang, yang
umumnya awam, untuk bermain angklung beramai-ramai. Kegiatan ini
bisa dilakukan di tempat pariwisata atau acara ramah tamah. Pada para peserta
akan dibagikan angklung-angklung yang sudah diberi nomor sesuai nadanya. Lalu,
sang konduktor akan memimpin, biasanya dengan cara:
- Konduktor
membuka satu layar besar bertuliskan lagu dalam not angka, lalu mengajak
para peserta memainkan angklung yang tepat dengan menunjuk nada pada
layar.
- Konduktor
mengajarkan isyarat tangan untuk nada-nada tertentu pada penonton,
kemudian memimpin suatu lagu dengan memberikan isyarat yang tepat secara
berurutan untuk diikuti para peserta. Isyarat tangan ini di-adaptasi oleh
Mang Udjo, berdasar isyarat yang dikembangkan oleh John Curwen.
- Sebelumnya, Pak Daeng Soetigna menggunakan isyarat gambar binatang untuk melatih anak-anak TK.
Modernisasi angklung
Secara
esensial, angklung adalah alat musik bambu yang dimainkan dengan digetar. Hal
tersebut tidak boleh diubah. Meski demikian, berbagai upaya kreatif untuk
memodernisasinya terus berlangsung, seperti:
- Angklung elektrik karya Agus Suhardiman
- Angklung otomatis, Tugas akhir Kadek Kertayasa di STIKOM Surabaya
- Tra-digi, angklung robot yang dikontrol oleh i-pod, ciptaan Hasim Ghozali.
- Klungbot, robot angklung yang mula-mula dikreasi oleh Krisna Diastama dan Karismanto Rahmadika , kemudian dilanjutkan oleh Eko Mursito Budi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar